Bunga sedang duduk sendiri di dalam taman, menebar senyum dan pesonanya kepada siapa saja yang memandang dan melihat. Pandangan mengoda sesekali terlihat jelas, senyum sipu pun tersunging manis dibibir Bunga. Karena itu adalah alaminya Bunga. Hasrat yang terpancar dari dalam diri Bungan membuat siapa saja yang melihat, timbul gejolak hendak menyapa.Tak terhitung sudah berapa kumbang yang lihat dan sapa Bunga, namun ia dengan malunya mencoba untuk 'menutup' diri, diam tersipu. Satu dua
kumbang pun kecewa dan berlalu, jauh pergi meninggalkan Bunga.
Suatu masa, Bunga tergoda pula dengan Sang Kumbang yang menusuk dengan beribu panah rayuan dan pujian. Naluri alami Bunga yang senang dan bahagia saat terayu dan tergoda membuat Bunga akhirnya, luluh juga.
Bunga masuk ke dalam alam keindahan yang diciptakan dan ditawarkan sang Kumbang. Sang Kumbang dengan lihai dan manja membawa Bunga ke alam yang maha agung menurut Bunga. Tiada resah dan curiga merambat dalam diri Bunga. Detik demi detik ia nikmati seolah-olah semua itu tanpa akhir. Kumbang pun semakin sering memuji dan menggoda, entah apa yang ada di balik semua puji dan goda itu. Apakah puji itu tulus, apakah goda itu gurauan, juga tidak ada yang tahu.
Puji dan goda terus saja mengalir, naik semakin tinggi dalam angan Bunga. Bunga bahkan sudah lupa dengan taman dimana ia dulu sering duduk sendiri, menebarkan senyum dan pesonanya. Taman juga merasa kehilangan yang sangat dalam, tapi Bunga tidak pernah mau tau itu. Ia terus saja terhanyut jauh dalam dunia maya sang Kumbang.
Puncak cerita, tanpa tersadar tentang apa yang sudah jauh terjadi, dengan segala rayu dan goda yang terhujam, sang Kumbang mampu untuk merambati, bukan hanya batang Bunga, tapi juga kuntum sari Bunga yang baru saja hadir dan mungkin akan tumbuh dengan indah. Namun Bunga tetap saja belum tersadar dari pingsan yang ia alami selama ini. Itu pula yang membuat Kumbang semakin leluasa untuk terus merambat, naik dan semakin naik saja. Ketika sudah mendaki puncak Bunga, Kumbang pun lelah dan bosan. Fantasi alam fana yang sudah sang Kumbang ciptakan kini sudah tidak semenarik dulu, semuanya kelihatan hambar dan gersang. Pesona dan harum Bunga juga tidak segairah dulu lagi, terlebih lagi Bunga sudah tiada memiliki 'kharisma' alami sekuntum Bunga yang seharusnya ada dan yang seharusnya pula ia 'jaga'. Keindahn yang semu ini sudah tidak menantang lagi untuk diterusakan. Tanpa pesan dan kabar, sang Kumbang melangkah santai, pergi sejauh-jauhnya, dan tiada hasrat untuk melihat Bunga lagi, bahkan untuk menguucapkan 'selamat tinggal sayang'. Bunga akhirnya tercampakkan.
Seperti tersadar dari mimpi yang 'sangat indah', Bunga pada awalnya tidak bisa menerima kalau semua keindahan yang 'sejati' dimatanya ini harus berakhir begitu saja. Tapi semua itu adalah nyata dan harus diterima oleh Bunga. Namun, seperti yang sudah sering dan biasa terjadi bahwa sesal selalu datang di akhir cerita, Bunga tiada sadar kalau dalam diri telah 'tertanam' benih bunga baru, 'buah' dari petualangan yang selama ini ia lalui bersama sang Kumbang yang lari entah kemana.
Sejuta maki dan caci terucap dari bibir Bunga, menutupi segala kegalauan hati yang ada. Benih sudah tertanam dan tiada kuasa untuk merenggut hak hidup dari benih ini. Ia terus tumbuh besar, dan Bunga pun menjadi berita utama di setiap sudut taman saat ia kembali ke tempat asal ia dahulu pernah bersinar indah.
Salah siapa dan dosa siapa ini? Pertanyaan yang tidak pernah mampu dijawab Bunga selama sisa akhir hidupnya. Sang Kumbang tiada kabar berita, hilang lenyap seperti tertelan bumi, bahkan masuk ke dasarnya. Tiada perduli akan nasib Bunga yang telah ia renggut dan campakkan ke tempat 'sampah'.
Apakah ini salah Bunga yang terayu bujuk dan pesona dunia maya sang Kumbang, atau ini salah Kumbang yang tak mampu menahan gejolak hati untuk merayu dan merenggut pesona Bunga? Kepada siapa semua pertanya ini harus Bunga sampaikan? Masih adakah bunga-bunga atau kumbang-kumbang lain yang sudi mendengar keluh dan kesah Bunga? Masihkah ada rasa iba dan kasihan yang tersisa untuk Bunga? Begitu banyak pertanyaan lain yang membuat Bunga sulit untuk bernafas. Sesak didada membuat Bunga ingin segera layu dan gugur dari taman ini. Tapi apakah ini bisa mengakhiri semuanya? Atau malah ini membuat masalah menjadi lebih dan tambah parah lagi? Dan mengapa hanya Bunga saja yang harus menanggung semua ini sendiri? Dimanakh tanggungjawab Kumbang yang juga memiliki andil sehingga semua ini terjadi? Beribu bahkan berjuta pertanyaan bergelut dalam diri Bunga, tanpa ia tahu kapan dan bilakah semuanya ini bisa terjawab.
Keluh dan kesah kini sudah tiada arti lagi. Bunga sadar dan paham benar akan hal itu, karena semua ini sudah 'terlanjur' terjadi. Tapi apakah sang Kumbang juga merasa hal yang sama? Semoga saja. Bunga kembali duduk di taman itu. Namun tidak seperti dulu lagi. Kini ia tiada lagi tersenyum atau menebarkan pesonanya. Karena ia sudah tak mampu lagi untuk tersenyum, ia tak mampu lagi untuk menebar pesona karena memang ia telah kehilangan pesonanya. Namun, di hati Bunga masih terselip sedikit asa dan harapan. Bunga ingin agar apa yang telah ia alami tidak dialami oleh bunga-bunga lain yang baru saja akan tumbuh. Tebarlah pesona mu, tapi jangan terhayut karenanya. Lihatlah 'aku' yang malang ini, belajarlah dari aku. Aku akan tetap berada di taman ini kalau sewaktu-waktu ada yang ingin melihat ku lagi. Aku tak akan berhenti untuk selalu berharap, karena aku masih punya Dia yang akan selalu menjaga ku dan sayang pada ku, seperti apapun adanya aku. Taman itu kini kembali seperti semula karena memang kehidupan ini tetap harus berjalan.
No comments:
Post a Comment